Polemik Surat Edaran Hate Speech, Daripada Berdebat Lebih Baik Dipahami!

Advertisement-Scroll to Continue
Image dari Gizmodo.com
Image dari Gizmodo.com

Negara kita memang negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai kebebasan berpendapat. Namun yang harus diingat demokrasi yang dijalankan di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang berkonsep pada cinta kasih, gotong royong, kekeluargaan, musyarawah dan mufakat. Minggu-minggu ini media massa di tanah air memang sedang diramaikan dengan munculnya Surat Edaran (SE) dari Kapolri tentang Hate Speech atau ujaran kebencian yang menuai pro dan kontra.

Surat edaran bernomor  SE/6/X/2015 yang dikeluarkan dan ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Badrotin Haiti pada 8 Oktober 2015 kemarin memang langsung direspon publik dengan beragam pendapat. Ada yang setuju dan mendukung tapi tak sedikit pula yang menentangnya.

Perdebatan pun muncul ke permukaan. Masing-masing pihak ini memang memiliki alasannya dalam sikapnya. Alasan mereka menolak SE ini adalah menganggap surat edaran ini bisa mematikan jalannya demokrasi karena mereka yang tak bisa bebas bersuara untuk menyampaikan pendapatnya. Di sisi lain pihak pro menyatakan dukungannya pada surat edaran ini karena kebebasan berpendapat ini bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan dengan hak asasi orang lain.

Artikel lain: 5 Hal yang Perlu Dilakukan Pemerintah Guna Mendukung Perkembangan Bisnis Online di Indonesia

Namun terlepas dari kontroversi surat edaran ini, sebenarnya ada pertanyaan yang perlu dijawab yaitu apakah Anda memang benar-benar sudah memahami surat edaran ini? Dalam kasus ini memang banyak didapat bahwa orang-orang yang kontra ini belum memahami keutuhan dari surat edaran yang ada. Maka dari itu daripada sibuk berdebat, apakah tidak lebih baik kita pahami dahulu isi dan kandungan dari surat edaran ini? Benar kan.

Perbedaan Mengkritik dan Menghina dari Kategori Hate Speech

Banyak yang menyatakan bahwa SE hate speech ini merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan multi tafsir. Nah untuk itu kita memang harus mampu berpikir mendalam dan menelaah satu persatu kata dari aturan tersebut. Langkah pertama untuk menelaah aturan ini mungkin bisa kita mulai dari cara membedakan antara mengkritik dan menghina.

Dalam aturan nomor 2 huruf (f) dengan jelas dinyatakan bahwa:

Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

  1. Penghinaan
  2. Pencemaran nama baik
  3. Penistaan
  4. Perbuatan tidak menyenangkan
  5. Memprovokasi
  6. Menghasut
  7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial.

Memahami Aspek Ujaran Kebencian

Setelah memahami perbedaan antara mengkritik dan menghina dalam bentuk ujaran kebencian yang dimaksud, hal berikutnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah aspek-aspek pada ujaran kebencian ini.

Terkait hal ini pada surat edaran yang ada bisa dilihat pada huruf (g) yang menyebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

Lebih lanjut pada huruf (h) disebutkan bahwa ujaran kebencian yang dimaksud diatas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring #media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah agama, media massa cetak dan elektronik dan pamplet.

Lebih Pada Usaha Preventif 

Hal terakhir yang perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat tentang SE ujaran kebencian adalah tentang prosedur penanganan. Pada prosedur ini, ternyata saat ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, pihak yang berwajib tidak akan langsung menindak dengan pasal pidana. Dalam hal ini anggota polri akan melakukan tindakan preventif dulu dengan langkah-langkah :

  1. Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat.
  2. Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian.
  3. Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian.
  4. Mencari solusi perdamaian antara pihak -pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

Baca juga: Pebisnis E-Commerce di Indonesia Wajib Faham 5 Aspek Hukum Berikut Ini

Namun jika tindakan preventif sudah dilakukan tapi ternyata masih tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:

  1. KUHP
  2. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
  4. UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
  5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Demikian sekilas pembahasan tentang polemik peraturan hate speech di berbagai media yang dikeluarkan oleh pihak Kepolisian RI. Terlepas dari efektif tidaknya langkah tersebut nantinya, yang pasti peraturan ini dibuat atas dasar niat yang positif dan sudah selayaknya kita bisa menghargai hal tersebut dengan ikut menjalankannya dengan baik.

Advertisement
Asep Irwan

Asep Irwan adalah content writer di Maxmanroe.com. Memiliki minat besar di dunia kepenulisan, blogging, dan media online.

Leave a Comment